Halloween party ideas 2015

Menuju Singapura yang Sulit Dilewati

Katanya di Singapura nanti ada pemeriksaan secara ketat. Istilahnya pembersihan pesawat. Entah apa yang dimaksud. Yang jelas, pesawat harus bersih dari benda berbahaya. Apakah mereka tidak yakin dengan pemeriksaan ketat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta? Boleh jadi demikian. Ataukah mau lebih bersih lagi? Saya tak peduli dengan itu. Asal saya sudah lewat pemeriksaan di Soe-Hatt, itu sudah cukup.

Pesawat besar ini pelan-pelan bergerak. Belum naik ke udara. Masih di darat. Dan saya dan Fonsi pun ikut menyaksikan gelapnya bandara dan gemerlapnya lampu dari pesawat lainnya, lampu mobil bandara, juga lampu dari ruang bandara yang masih bisa kami lihat. Rupanya, kami harus menunggu dengan sabar. Harus antri untuk lepas landas. Banyak pesawat lain di depan kami. Juga ada pesawat yang hendak mendarat. Saya sempat melihat ada Lion Air, Garuda Indonesia, dan maskapi lokal lainnya.

Setelah menunggu dengan sabar, tiba giliran kami naik. Saya merasakan saat-saat kami duduk miring karena badan pesawat juga miring. Mula-mula mulutnya menanjak, ekornya merendah. Kemudian badan pesawat rata tetapi miring sedikit, entah mencari arah yang tepat. Selanjutnya saya tidak merasakan pergerakan pesawat lagi. Seolah-olah kami diam padahal pesawat tetap bergerak. Dan saat kami diam itu tiba-tiba pramugari pesawat datang, membagikan makanan. Segelas air dan sepotong roti.

Begitu dapat makanan itu, saya langsung melahapnya. Ngomong-ngomong perutku lapar. Tadi siang makan terakhir di Indonesia. Dan rupanya itu makan nasi terakhir untuk saya. Setelahnya tidak bertemu nasi lagi. Jam menunjukkan pukul 8 malam lewat sekian. Di tiket memang tertulis berangkat jam 7.50 malam. Tetapi kan ada tetek-bengek yang lainnya sehingga perutku dapat suplay makanan baru pada jam sekian.

Hati saya senang karena sudah kenyang. Selanjutnya saya membuka monitor di depan saya. Rupanya alat ini hanya disentuh saja. Dan tangan saya sudah biasa menyentuh teknologi seperti ini. Tidak elit tetapi saya pernah mengoperasikan teknologi layar-sentuh seperti ini. setelah mendapat yang saya cari, saya duduk tenang, tutup mata dan hanya mendengar saja. Saya memang sedang memutar musik, lagu instrumental. Entah siapa yang memainkan musik dalam lagu ini. Saya belum begitu akrab dengan pengarang lagu seperti ini.

Fonsi di samping saya asyik menonon film. Dia memang suka film. Saya tidak memerahtikan film apa yang sedang ia tonton. Saya dengar music saja sambil tutup mata. Dan mata tertutup ini rupanya berhasil membius kesadaran saya. Saya tidur pulas. Perjalanan dua jam dari Indonesia ke Singapura tak terasa. Tahu-tahu, pesawat miring, dan akhirnya mendarat. Ada pengumuman, penumpang harus turun, membawa serta dengan barang bawaan di kabin.

Kami juga bergegas. Tak lupa tas di kabin. Saya dan Fonsi berbisik, kalau-kalau nanti ada pemeriksaan lagi. Kami memang sudah mendengar informasi di Indonesia bahwa, di sini aka nada pemeriksaan lagi. Fonsi memikirkan pemeriksaan itu. Jangan-jangan dia tidak diizinkan lagi untuk terbang. Sebab, di Jakarta saja kami tersendat. Saya tidak peduli dengan pemeriksaan ini. Saya berprinsip, jika Jakarta lolos, yang lainnya akan lolos sampai tujuan. Tetapi saya juga merasa sedih jika saya sendiri yang akan melanjutkan perjalanan. Sayang jika Fonsi harus berhenti di Singapura. Apakah dia akan dia akan menunggu di sini saja? Ataukah dia harus kembali ke Indonesia dulu? (bersambung)

Parma, 26 September 2013
Gordi

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.